Harian Kendari

Hak Asasi Manusia dan Acaman Kerusakan  Lingkungan Industri Pertambangan di Bumi Oheo

Ahmad Zainul, S.Sos (Kornas. Kordinator Nasional Haluoleo Hijau).

Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan sumber daya alam tersebut perlu dikelola dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasi pada konservasi sumberdaya alam. 

Pengelolaan sumber daya alam yang memerhatikan kepentingan lingkungan dan kepentingan manusia akan berdampak pada tercapainya mandat yang telah ditetapkan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini dibentuk untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.

limbah yang dihasilkan sektor pertambangan sangat berdampak pada pencemaran lingkungan, misalkan seperti tercemar air sungai yang menjadi sumber bahan baku air minum, terancamnya ekosistem, dan kerusakan struktur tanah sehingga menimbulkan banjir.

Selain kerusakan ekosistem kegiatan pertambangan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan akan berakibat pada berapa dampak anatara lain: meningakatnya ancaman tanah longsor, kerusakan hutan, penurunan kualitas udara, sedimentasi dan menurunya kualitas air, dan pencemaran limbah pertambangan yakni asam sulfat dan senyawa besi yang dapat mengalir keluar daerah pertambangan.

Telah ada Instrumen kebijaksanaan dalam pengelolaan lingkungan yaitu baku mutu lingkungan, analisis mengenai dampak Lingkungan (AMDAL ) dan izin lingkungan, namun demikian, walaupun peraturan perundangan telah memberikan pedoman yang jelas mengenai pengelolaan sumber daya alam, dalam realitasnya masih terjadi pelanggaran dalam proses eksploitasi kekayaan alam indonesia, salah satunya terjadi dalam proses produksi bahan prrtambangan jenis nikel di bumi Oheo Konawe Utara.

Berdasarkan data JATAM sekitar 44% daratan Indonesia telah diberikan untuk sekitar 8.588 izin usaha tambang. Jumlah itu seluas 93,36 juta hektare atau sekitar empat kali lipat dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Izin-izin ini telah mengakibatkan dampak yang besar terhadap hak asasi manusia dan lingkungan. Catatan akhir tahun 2020 JATAM melaporkan terjadinya 45 konflik pertambangan, dan 22 kasus merupakan kasus pencemaran dan perusakan lingkungan.

Aktivitas pertambangan tersebut terjadi di Sulawesi. Menurut catatan Jatam, rentetan aktivitas tambang telah memicu bencana banjir bandang yang menyebabkan ratusan rumah penduduk, dan bangunan pemerintah serta fasilitas umum rusak parah.

Di Konawe Utara sendiri, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas hutan lindung 209.661 hektare, hutan produksi terbatas 80.490 hektare, hutan produksi tetap seluas 65.999 hektare dan hutan produksi dapat dikonversi seluas 33.052 hektare.

Bencana banjir yang terus melanda Kabupaten Konawe Utara ini diduga disebabkan rusaknya lingkungan dan alam. Sebab Konawe Utara adalah daerah dengan penghasil tambang nikel terbesar di Bumi Anoa. Selain itu, terdapat juga perkebunan sawit.

Dengan luasan hutan tersisa 30 persen ini, sudah menjadi ambang batas ketersediaan hutan di daerah itu. Pemerintah sudah tidak boleh mengeluarkan IPPKH kepada izin usaha pertambangan (IUP).

Rentan tahun  2020 hingga 2022 saja  bencana alam dampak kerusakan lingkungan yang terjadi di Konawe Utara yang di duga akibat dampak industri pertambangan saja telah berulang kali terjadi. Hal ini menguatkan asumsi bahwa proses eksploitasi sumber daya alam yang terjadi di Konawe Utara tidak memperhatikan aspek Lingkungan

salah satu dampak akibat kerusakan lingkungan di Konwe Utara terjadi di Desa Tapunggaya, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara (Konut) dugaan terjadinya bencana longsor terjadi pada  pada 12, 7 , 2021 melansir dari detiksultra.com

Di tempat lain banjir lumpur di duga akibat dari pertambangan PT. Manunggal Sarana Surya Pratama hancurkan rumah warga, sarana pendidikan dan lingkungan di Desa Boenaga dikutip media lokal Sultra, IndoSultra, pada 11 Juli 2022.

Berbagai kejadian itu tidak hanya mempengaruhi ekosistem secara langsung namun juga berdampak Trauma masyarakat akibat Banjir yang terjadi saban tahun ini terus menghantui masyarakat Konawe Utara. Bahkan, tingkat psikologi warga tengah di ambang frustrasi.

Dalam UU 3/2020 tentang Minerba telah diatur pemanfaatan sumber daya alam (SDA) termasuk pertambangan untuk tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Tak hanya itu, pemerintah juga menuangkan keseriusan ini dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT). Pada UU PT termuat amanat jika ada perusahaan yang merusak lingkungan, masyarakat dapat menuntut ganti rugi. Tak hanya finansial, tetapi  juga terdapat kewajiban pengusaha untuk melakukan perbaikan lingkungan yang telah dirusak oleh usahanya.

Bencana alam yang menerjang suatu kawasan dapat mengakibatkan kerugian besar bagi korban banjir, kerugian ini meliputi: kerugian materi, non materi maupun budaya sosialnya. dampak yang sangat rentan bagi korban banjir adalah dapat menyebabkan kecemasan, stres bahkan akan menyebabkan seseorang trauma

Jika semua pihak konsisten dan mewajibkan perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan, dampak-dampak negatif industri pertamabangan harus dapat dihindari atau diminimalisasi.

Penulis : Ahmad Zainul, S.Sos (Kordinator Nasional Haluoleo Hijau)